sumber : http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/teuku-zulkhairi-siapa-majikan-kpk.htm
Benarkah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) itu bekerja untuk dan demi rakyat?Benarkah penguasa kita, dalam hal ini Presiden SBY dengan kapal besarnya yang bernama Partai Demokrat telah serius memberantas korupsi? Mungkin saat ini sebagian rakyat kita akan menjawab ‘ya, serius’. Buktinya adalah pembelaan Ruhut Sitompul kepada KPK atas statemen Fahri Hamzah yang mengeluarkan wacana pembubaran KPK. Ruhut menuntut Fahri Hamzah agar tidak melawan rakyat yang sangat mendukung KPK.
Sikap Fahri Hamzah yang mengeluarkan statmen pembubaran KPK ini praktis memang telah menuai banyak kritikan dan bahkan hujatan. Ini wajar mengingat besarnya harapan rakyat di negeri ini yang ingin melihat negerinya bersih dari para koruptor. Agar negeri ini damai. Makmur. Sejahtera lahir dan batin.
Mereka mendukung KPK hanya dengan harapan agar lembaga super body ini bisa bekerja maksimal. Menindak siapa saja yang melakukan tindak pidana korupsi. Tapi disini saya ingin kita berfikir ulang, layakkah kita memberikan harapan yang begitu besar tersebut bagi KPK dengan sederet pasukan kuatnya saat ini yang dibawah kepemimpinan Busyro Muqaddas?
Ini bukan agar kita menjadi orang yang pesimis. Kita memang harus optimis bahwa kita bisa membersihkan negeri ini dari koruptor. Kita memang harus mendukung KPK sebagai sebuah lembaga. Namun nampaknya kita memang dituntut untuk secara jeli membaca arus perpolitikan pragmatis di negeri ini. Membaca setiap kasus, satu persatu dan mengaitkannya dengan konsistensi penguasa negeri ini untuk memberantas korupsi.
Begitu banyak kasus tebang pilih. Kasus pembodohan-pembodohan dalam bentuk pengalihan isu. Yang jika kita kaji, nampaknya KPK tidak lagi bekerja sesuai dengan harapan rakyat banyak. Nampaknya, KPK saat ini justru telah menjadikan penguasa negeri ini sebagai majikannya, bukan rakyat, apalagi bekerja untuk dan demi untuk rakyat.
Impotensi KPK didepan penguasa
Siapapun pasti bisa melihat dan membaca bahwa KPK kini hanya menjadi alat pencitraan politik bagi penguasa semata. KPK yang tidak berani menentang sang ‘nyonya’, meski berdasarkan data-data maka si nyonya ini sudah selayaknya masuk penjara. Faktanya, dalam isu besar lain seperti kasus Gayus, andai kasus ini benar-benar diusut kita yakin aktor-aktor pencuri dibelakang layar itu pasti akan bisa diadili oleh rakyat. Tapi tidak.
Hanya Gayus yang dikorbankan. Padahal, Gayus saja bisa menyimpan uang hasil korupsi dengan jumlah yang milyaran, konon lagi sang majikannya. Entahlah! Memang ada Susno Duadji yang semula mau bicara untuk kebaikan negeri ini. Tapi cepat-cepat diringkus ke dalam sel. Seolah ada yang berkata untuk Susno; “awas kau Susno, tutup mulutmu, atau kau akan kekal dalam penjara!”. Sebagai seorang manusia yang memiliki anak istri, sikap Susno untuk akhirnya diam ini pun untuk sejenak bisa kita pahami. Ini belum lagi tentang permainan sangat keji dalam kasus Antasari Azhar.
Pimpinan KPK yang karena keberaniannya akhirnya harus menerima balasan pihak penguasa, ya balasan penjara baginya, karena jika Antasari Azhar terus dibiarkan memimpin KPK, maka akan banyak koruptor yang kebakaran jenggot. Kita juga ingat persis ketika armada SBY, fraksi Demokrat di DPR RI menolak hak angket pengusutan kasus mafia pajak, serta ‘memerangi’ siapapun yang yang setuju dengan hak angket tersebut dengan ancaman akan di keluarkan dari cabinet. Padahal, hak angket tersebut bertujuan untuk mengusut jaringan mafia pajak yang mencengkerama negeri ini.
Pun demikian dengan kasus Nazaruddin yang kini mulai meredup, tertutupi oleh isu-isu baru yang nampaknya memang sengaja direkayasa, atau diatur kapan akan dibuka. Dari kasus Nazaruddin, kasus di Kemenpora yang dikabarkan melibatkan beberapa politisi di parlemen, kemudian bergeser sejenak ke kasus korupsi Muhaimin Iskandar, kemudian terfokus ke banggar DPR.
Sampai disini, nampaknya ada yang sengaja dikorbankan untuk tujuan pengalihan isu. Mirwan Amir yang disebut-sebut terlibat dalam kasus suap, tapi Tamsil Linrung saja yang ‘dihajar’. Pada saat seperti ini, kasus Nazaruddin pun diambang tanpa penyelesaian. Berbagai pengakuan Nazaruddin saat di luar negeri ketika itu nampaknya tidak akan ditelusuri lagi. Lagi-lagi kita kecewa.
Beberapa analisis pengamat memprediksi telah terjadinya intervensi penguasa atas kasus Nazaruddin yang terbaca dari berbagai monuver politik para elit Partai Demokrat. Karena jika pengakuan Nazaruddin ditelusuri, dipastikan beberapa elit yang dekat dengan penguasa akan terseret ke penjara. Disini, dimana aksi heroisme KPK? Kenapa KPK terlalu sulit menyentuh penguasa?.
Disaat yang bersamaan, isu reshuffle kabinet pun digulirkan. Para menteri dari Parpol pun dibuat was-was dan ketakutan sehingga menganggu konsistensi kerja mereka. Jika kita kaji lagi, meski disatu sisi pergantian kabinet merupakan suatu kebutuhan, namun ternyata disana ada permainan politik juga, serta hanya untuk tujuan politis yang materialis semata. Bukan demi rakyat yang sedang merana.
Intinya, mereka hanya sibuk gontok-gontokan sesamanya untuk memperebutkan harta dan tahta yang akan mereka gunakan untuk terus memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Pada akhirnya, kerja politik mereka bukan untuk menyelesaikan kompleksitas problematika rakyat yang kian nestapa.
Disisi lain, isu pergantian kabinet ini nampaknya juga dijadikan sebagai upaya untuk meredam suara Partai Koalisi, agar mereka tidak bersuara atas semua kebobrokan penguasa. Jika bersuara, silahkan keluar dari kabinet! Beberapa partai yang pragmatis dan materialis memilih jalur untuk bungkam, ini demi logistik pemilu selanjutnya di kantong-kantong kementerian yang mereka pegang.
Jika ada partai koalisi yang tetap bersuara kritis, ini akan ‘dihajar’ habis-habisan. Sampai disini, dimana peran KPK? Sebuta dan sepekak itukah mereka yang tidak bisa membaca semua permainan politik kotor ini? Lalu, atas dasar apa Ruhut Sitompul muncul bagai pahlawan kesiangan untuk membela KPK? Dimana suara Ruhut atas semua permainan politik kotor ini?
KPK layak digertak!
Sekali lagi, kita memang harus mendukung KPK sebagai sebuah lembaga, tapi bukan personal-personal di lembaga itu yang nampaknya bekerja hanya untuk kepentingan majikannya. Kita mendukung kerja KPK yang kapabilitas dan integritas. Bukan KPK yang hanya bekerja untuk majikannya, penguasa. Kita mendukung KPK yang berani dan tegas memberantas korupsi. Tidak pandang bulu. Tidak tebang pilih. Tapi ketika realitanya kinerja KPK tidak demikian, maka wajar sekali muncul statemen Fahri Hamzah untuk membubarkan KPK. Saya pribadi yakin bahwa statemen hanya ‘gertakan’ semata.
Faktanya, jumlah anggota fraksi asal Fahri Hamzah, PKS, sangat tidak mungkin memenangkan isu untuk pembubaran KPK. Saya yakin Fahri Hamzah sadar betul itu. Yang memegang kendali besar di parlemen adalah Partai Demokrat. Mereka punya wewenang besar untuk menentukan siapa yang akan menjadi pimpinan KPK selanjutnya. Sebagaimana peran mereka untuk memunculkan Busyro Muqaddas sebagai pengganti pimpinan KPK yang lalu, Antasari Azhar.
Maka, setidaknya, diantara hikmah atas statemen Fahri Hamzah ini adalah terbukanya mata kita lebar-lebar untuk melihat KPK dengan jujur. Bahwa KPK butuh perhatian dan pengawasan ektra ketat dari rakyat, sehingga KPK benar-benar bisa bekerja untuk rakyat. Sehingga KPK benar-benar lepas dari intervensi pihak lain selain suara rakyat.
Teuku Zulkhairi; Penulis adalah ketua Senat Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Direktur Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Intelektualitas Masyarakat (LAPIM)Aceh.
0 ulasan:
Catat Ulasan